Proses belajar mengajar merupakan sebuah proses yang sangat kompleks dan saling berhubungan satu sama lain. Proses belajar mengajar bukan hanya sekedar transfer ilmu pengetahuan dari guru sebagai pengajar kepada siswanya sebagai penerima pengajaran, akan tetapi guru dituntut agar dapat membantu siswanya dalam mengembangkan seluruh aspek kepribadian dan lingkungannya, sepanjang itu memungkinkan secara profesional.
Pada dasarnya proses belajar mengajar mempunyai dua inti yaitu belajar dan mengajar. Berikut ini dijelaskan tentang pengertian tersebut secara satu persatu.
Dari Henry E. Garret dalam buku Konsep dan Makna Pembelajaran, Syaiful Sagala menyimpulkan bahwa,
Belajar merupakan proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama melalui latihan maupun pengalaman yang membawa kepada perubahan diri dan perubahan cara mereaksi terhadap suatu perangsang tertentu.
Dalam proses belajar mengajar, latihan memang sesuatu yang diperlukan sehingga siswa tidak mudah lupa terhadap pelajaran yang telah dipelajari. Lupa merupakan salah satu indikasi kesulitan dalam menggali ingatan.
Bagi Slameto, belajar merupakan kegiatan menghafal sejumlah fakta-fakta. Karena jika seseorang telah mengalami proses belajar maka akan terlihat dari fakta-fakta yang dapat dihafalnya. Namun untuk bayak memperoleh kemajuan seseorang harus berlatih dalam berbagai aspek tingkah laku sehingga diperoleh suatu pola tingkah laku yang otomatis. Mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasi lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajarn yang menimbulkan proses belajar.
Maksud pengertian diatas, guru diharapkan mampu mengorganisir proses belajar siswa dan memanfaatkan lingkungan yang berada di dalam ataupun di luar kelas sehingga dapat menunjang proses belajar mengajar. Mengajar bukanlah proses yang mudah, karena mengajar berarti berinteraksi dengan siswa sebagai manusia, makhluk yang memiliki banyak dimensi dan permasalahan yang kompleks.
Menurut Alvin W. Howard yang dikutip oleh Slameto, menyimpulkan bahwa,
Mengajar adalah sutu aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah dan mengembangkan skill, attitude, ideals (cita-cita), appreciation (penghargaan) dan knowledge.
Syarat utama proses belajar mengajar yaitu adanya interaksi (huungan timbale balik) antara guru dan siswa bukan hanya penyampaian pesan berupa materi pengajaran melainkan penanaman sikap dan nilai pada diri siswa yang sedang belajar.
Pengertian proses belajar mengajar ini seperti yang disimpulkan oleh Moh. Uzer Usman bahwa,
Proses belajar mengajar merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. ]
Maksudnya, dalam proses belajar mengajar ada dua subjek yaitu guru dan siswa yang saling berinteraksi secara aktif dan tidak hanya berlangsung satu arah saja. Dan proses belajar mengajar tersebut sengaja dilakukan dalam suasana yang kondusif.
Minggu, 01 Mei 2011
Kamis, 21 April 2011
problem Posing dalam Pembelajaran Matematika
Sesuai dengan kedudukan problem posing merupakan langkah awal dari problem solving, maka pembelajaran problem posing juga merupakan pengembangan dari pembelajaran problem solving. Silver dkk (Sutiarso: 2000) menyatakan bahwa dalam problem posing diperlukan kemampuan siswa dalam memahami soal, merencanakan langkah-langkah penyelesaian soal, dan menyelesaikan soal tersebut. Ketiga kemampuan tersebut merupakan juga merupakan sebagian dari langkah-langkah pembelajaran problem solving.
Mengenai keterkaitan antara problem solving dengan problem posing, Brown & Walter (1993: 21) mengemukakn bahwa posing dan solving berhubungan antara satu dengan yang lainnya seperti orang tua terhadap anak, anak terhadap orang tua dan sebaik saudara kandung. Penelitian Silver dan Cai (1996: 521) menemukan hubungan positif yang kuat antara problem solving dan ketrampilan problem posing anak sekolah menengah. Sedangkan penelitian Hashimoto (Silver dan Cai, 1996: 522) menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving menimbulkan dampak positif terhadap kemampuan siswa dalam problem solving.
Mengenai peranan problem posing dalam pembelajaran matematika, Sutiarso (2000) menjelaskan bahwa problem posing adalah adalah suatu bentuk pendekatan dalam pembelajaran matematika yang menekankan pada perumusan soal, yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematis atau menggunakan pola pikir matematis. Hal ini sejalan dengan English (1998) yang menjelaskan bahwa problem posing adalah penting dalam kurikulum matematika karena di dalamnya terdapat inti dari aktivitas matematika, termasuk aktivitas di mana siswa membangun masalahnya sendiri. Silver (1994) dan Simon (1993) mengemukakn bahwa beberapa aktivitas problem posing mempunyai tambahan manfaat pada perkembangan pengetahuan dan pemahaman anak terhadap konsep penting matematika (English: 1998).
Brown dan Walter dalam Hamzah (2003: 19) menyatakan bahwa pengajuan masalah matematika tersiri dari dua aspek penting, yaitu accepting dan challenging. Accepting berkaitan dengan kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang sulit ditentukan. Sementara challenging, berkaitan dengan sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah matematika.
Suryanto dalam Zahra (2007: 6) menjelaskan bahwa:
1.Problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana sehinga soal tersebut dapat diselesaikan. Ini terjadi pada soal-soal yang rumit.
2.Problem posing adalah perumusan soal-soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang akan diselesaikan menekankan pada pengajuan soal oleh siswa.
3.Problemposing adalah pengajuan soal dari informasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau setelah kegiatan penyelesaian.
Silver dalam Hamzah (2003: 18) menemukan bahwa pendekatan problem posing merupakan suat aktivitas dengan dua pengertian yang berbeda yaitu:
1.Proses pengembangan matematika yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada
2.Proses memformulasikan kembali masalah matematika dengan kata-kata sendiri berdasarkan situasi yang diberikan. Dengan demikian, masalah matematika yang diajukan oleh siswa mengcu pada situasi yang telah disiapkan oleh guru.
Selanjutnya Hamzah (2003: 17) mengemukakan bahwa dalam pustaka pendidikan, problem posing dalam matematika oleh siswa mempunyai 3 pengertian.
1.Problem posing (pengajuan masalah)adalah rumusan masalah matematika sederhana atau perumusan ulang masalah yang telah diberikan dengan beberapa cara dalam rangka menyelesaikan masalah yang rumit.
2.Problem posing (pengajuan masalah) adalah perumusan masalah matematika yang berkaitan dengan sarat-sarat pada masalah yang dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan masalah yang relevan.
3.Problem posing (pengajuan masalah) adalah merumuskan atau mengajukan pertanyaan matematika dari situasi yang diberikan, baik diajukan sebelum, pada saat atau setelah pemecahan masalah.
Dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa pendekatan problem posing adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika dimana siswa diminta untuk merumuskan, membentuk dan mengajukan pertanyaan atau soal dari situsi yang disediakan. Situasi dapat berupa gambar, cerita, atau informasi lain yang berkaitan dengan materi pelajaran.
Mengenai keterkaitan antara problem solving dengan problem posing, Brown & Walter (1993: 21) mengemukakn bahwa posing dan solving berhubungan antara satu dengan yang lainnya seperti orang tua terhadap anak, anak terhadap orang tua dan sebaik saudara kandung. Penelitian Silver dan Cai (1996: 521) menemukan hubungan positif yang kuat antara problem solving dan ketrampilan problem posing anak sekolah menengah. Sedangkan penelitian Hashimoto (Silver dan Cai, 1996: 522) menunjukkan bahwa pembelajaran problem solving menimbulkan dampak positif terhadap kemampuan siswa dalam problem solving.
Mengenai peranan problem posing dalam pembelajaran matematika, Sutiarso (2000) menjelaskan bahwa problem posing adalah adalah suatu bentuk pendekatan dalam pembelajaran matematika yang menekankan pada perumusan soal, yang dapat mengembangkan kemampuan berpikir matematis atau menggunakan pola pikir matematis. Hal ini sejalan dengan English (1998) yang menjelaskan bahwa problem posing adalah penting dalam kurikulum matematika karena di dalamnya terdapat inti dari aktivitas matematika, termasuk aktivitas di mana siswa membangun masalahnya sendiri. Silver (1994) dan Simon (1993) mengemukakn bahwa beberapa aktivitas problem posing mempunyai tambahan manfaat pada perkembangan pengetahuan dan pemahaman anak terhadap konsep penting matematika (English: 1998).
Brown dan Walter dalam Hamzah (2003: 19) menyatakan bahwa pengajuan masalah matematika tersiri dari dua aspek penting, yaitu accepting dan challenging. Accepting berkaitan dengan kemampuan siswa memahami situasi yang diberikan oleh guru atau situasi yang sulit ditentukan. Sementara challenging, berkaitan dengan sejauh mana siswa merasa tertantang dari situasi yang diberikan sehingga melahirkan kemampuan untuk mengajukan masalah matematika.
Suryanto dalam Zahra (2007: 6) menjelaskan bahwa:
1.Problem posing adalah perumusan soal sederhana atau perumusan ulang soal yang ada dengan beberapa perubahan agar lebih sederhana sehinga soal tersebut dapat diselesaikan. Ini terjadi pada soal-soal yang rumit.
2.Problem posing adalah perumusan soal-soal yang berkaitan dengan syarat-syarat pada soal yang akan diselesaikan menekankan pada pengajuan soal oleh siswa.
3.Problemposing adalah pengajuan soal dari informasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum, ketika atau setelah kegiatan penyelesaian.
Silver dalam Hamzah (2003: 18) menemukan bahwa pendekatan problem posing merupakan suat aktivitas dengan dua pengertian yang berbeda yaitu:
1.Proses pengembangan matematika yang baru oleh siswa berdasarkan situasi yang ada
2.Proses memformulasikan kembali masalah matematika dengan kata-kata sendiri berdasarkan situasi yang diberikan. Dengan demikian, masalah matematika yang diajukan oleh siswa mengcu pada situasi yang telah disiapkan oleh guru.
Selanjutnya Hamzah (2003: 17) mengemukakan bahwa dalam pustaka pendidikan, problem posing dalam matematika oleh siswa mempunyai 3 pengertian.
1.Problem posing (pengajuan masalah)adalah rumusan masalah matematika sederhana atau perumusan ulang masalah yang telah diberikan dengan beberapa cara dalam rangka menyelesaikan masalah yang rumit.
2.Problem posing (pengajuan masalah) adalah perumusan masalah matematika yang berkaitan dengan sarat-sarat pada masalah yang dipecahkan dalam rangka mencari alternatif pemecahan masalah yang relevan.
3.Problem posing (pengajuan masalah) adalah merumuskan atau mengajukan pertanyaan matematika dari situasi yang diberikan, baik diajukan sebelum, pada saat atau setelah pemecahan masalah.
Dari beberapa pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa pendekatan problem posing adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika dimana siswa diminta untuk merumuskan, membentuk dan mengajukan pertanyaan atau soal dari situsi yang disediakan. Situasi dapat berupa gambar, cerita, atau informasi lain yang berkaitan dengan materi pelajaran.
Minggu, 16 Januari 2011
Peran Guru dalam Membangun LIFE SKILL di Sekolah
Kurikulum berbasis Kompetensi ( KBK ); dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk inovasi kurikulum. Kemunculan KBK seiring dengan munculnya semangat reformasi pendidikan, diawalai dengan munculnya kebijakan pemerintah di antaranya lahirnya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah; Undang-undang No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintahan dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom; serta lahirnya Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang Arah Kebijakan Pendidikan di Masa Depan. Di samping itu, rendahnya kualitas pendidikan merupakan faktor pendorong lain perlunya perubahan kurikulum dalam konteks reformasi pendidikan.
Pengertian kurikulum sebagai pengalaman belajar mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru ( sekolah ). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra muapun ekstra kurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal saja ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum.
Pendidikan kita selama ini berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan mata pelajaran. Pengamatan terhadap praktek pendidikan sehari-hari menunjukkan bahwa pendidikan difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi dari seberapa jauh penguasaan itu dicapai oleh siswa. Seakan-akan pendidikan bertujuan untuk menguasai matapelajaran. Bagaimana keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan, kurang mendapat perhatian. Pendidikan seakan terlepas dari kehidupan keseharian, seakan-akan pendidikan untuk pendidikan atau pendidikan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu siswa tidak mengetahui manfaat apa yang dipelajari dan sampai lulus seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari yang dihadapi.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya.
Untuk mewujudkan hal ini, perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau vokasional semata, tetapi juga memberikan bekal learning how to learn sekaligus learning how to unlearn, tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupan sehari-hari (Bently, 2000). Pendidikan yang mengitegrasikan empat pilar pendidikan yang diajukan oleh UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, and learing to live together.
Kurikulum berbasis kompetensi adalah acuan untuk menyelenggarakan pendidikan pada tiap jenjang pendidikan. Pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, mencakup komponen pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kemandirian, kreatifitas, kesehatan, akhlak, ketakwaan, dan kewarganegaraan. Sedangkan implikasi penerapan pendidikan berbasis kompetensi adalah perlunya pengembangan silabus dan sistem penilaian yang menjadikan peserta didik mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan mengintegrasikan life skill (Depdiknas, 2003, Pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian kurikulum 2004).
Life skill yang dimaksud meliputi general skills dan specific skill. General skill terdiri dari self awareness (kesadaran diri); thinking skill (keterampilan berfikir); dan social skills (keterampilan sosial). Sedangkan spesific skills terdiri dari academic skills (keterampilan akademik) dan vocational skill (keterampilan kejuruan atau keterampilan tugas tertentu). Tekanan jenis-jenis life skill ini berbeda pada jenjang yang berbeda. Untuk SD dan SMP life skill yang dikembangkan lebih menekankan pada general skill sedangkan pada SMA tekanannya pada academic skills (Depdiknas, 2003, Pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian kurikulum 2004). Life skills atau kecakapan hidup ini harus dimunculkan dalam setiap kegiatan di sekolah baik dalam kegiata Adapun tujuan dari pengembangan kecakapan hidup siswa ini adalah sebagai berikut:
1.mengaktualisasi potensi anak sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi
2.memberikan wawasan yang luas dalam mengembangkan karier
3.memberikan bekal dengan latihan dasar tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
4.memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas
5.mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat
Secara umum manfaat pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan terhadap lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap.
Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi dua jenis utama, yaitu:
1.Kecakapan hidup yang bersifat generik (generic life skill/GLS); yang mencakup kecakapan personal (personal skill/PS) dan kecakapan sosial (social skill/SS). Kecakapan personal mencakup kecakapan akan kesadaran diri atau memahami diri (self awareness) dan kecakapan berpikir (thinking skill); sedangkan kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill).
2.Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS); yaitu kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu, yang mencakup kecakapan akademik (academic skill) atau kecakapan intelektual dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran, sehingga mencakup kecakapan mengidentifikasi variabel dan hubungan antara satu dengan lainnya (identifying variables and describing relationship among them) , kecakapan merumuskan hipotesis (constructing hypotheses) , dan kecakapan merancang dan melaksanakan penelitian ( designing and implementing a research) . Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional mencakup kecakapan vokasional dasar (basic vocational )
Pengertian kurikulum sebagai pengalaman belajar mengandung makna bahwa kurikulum adalah seluruh kegiatan yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar sekolah asal kegiatan tersebut berada di bawah tanggung jawab guru ( sekolah ). Yang dimaksud dengan kegiatan itu tidak terbatas pada kegiatan intra muapun ekstra kurikuler. Apa pun yang dilakukan siswa asal saja ada di bawah tanggung jawab dan bimbingan guru, itu adalah kurikulum.
Pendidikan kita selama ini berjalan dengan verbalistik dan berorientasi semata-mata kepada penguasaan mata pelajaran. Pengamatan terhadap praktek pendidikan sehari-hari menunjukkan bahwa pendidikan difokuskan agar siswa menguasai informasi yang terkandung dalam materi pelajaran dan kemudian dievaluasi dari seberapa jauh penguasaan itu dicapai oleh siswa. Seakan-akan pendidikan bertujuan untuk menguasai matapelajaran. Bagaimana keterkaitan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari dan bagaimana materi tersebut dapat digunakan untuk memecahkan problema kehidupan, kurang mendapat perhatian. Pendidikan seakan terlepas dari kehidupan keseharian, seakan-akan pendidikan untuk pendidikan atau pendidikan tidak terkait dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu siswa tidak mengetahui manfaat apa yang dipelajari dan sampai lulus seringkali tidak tahu bagaimana menggunakan apa yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari yang dihadapi.
Bertolak dari masalah tersebut, kiranya perlu dilakukan langkah-langkah agar pendidikan dapat membekali peserta didik dengan kecakapan hidup, yaitu kemampuan dan keberanian menghadapi problema kehidupan, kemudian secara kreatif menemukan solusi serta mampu mengatasinya. Pendidikan yang dapat mensinergikan berbagai mata pelajaran/mata diklat/mata-kuliah menjadi kecakapan hidup yang diperlukan seseorang, di manapun ia berada, bekerja atau tidak bekerja, apapun profesinya. Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikannya.
Untuk mewujudkan hal ini, perlu diterapkan prinsip pendidikan berbasis luas yang tidak hanya berorientasi pada bidang akademik atau vokasional semata, tetapi juga memberikan bekal learning how to learn sekaligus learning how to unlearn, tidak hanya belajar teori, tetapi juga mempraktekkannya untuk memecahkan problema kehidupan sehari-hari (Bently, 2000). Pendidikan yang mengitegrasikan empat pilar pendidikan yang diajukan oleh UNESCO, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, and learing to live together.
Kurikulum berbasis kompetensi adalah acuan untuk menyelenggarakan pendidikan pada tiap jenjang pendidikan. Pendidikan berbasis kompetensi adalah pendidikan yang menekankan pada kemampuan yang harus dimiliki oleh lulusan yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, mencakup komponen pengetahuan, keterampilan, kecakapan, kemandirian, kreatifitas, kesehatan, akhlak, ketakwaan, dan kewarganegaraan. Sedangkan implikasi penerapan pendidikan berbasis kompetensi adalah perlunya pengembangan silabus dan sistem penilaian yang menjadikan peserta didik mampu mendemonstrasikan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan standar yang ditetapkan dengan mengintegrasikan life skill (Depdiknas, 2003, Pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian kurikulum 2004).
Life skill yang dimaksud meliputi general skills dan specific skill. General skill terdiri dari self awareness (kesadaran diri); thinking skill (keterampilan berfikir); dan social skills (keterampilan sosial). Sedangkan spesific skills terdiri dari academic skills (keterampilan akademik) dan vocational skill (keterampilan kejuruan atau keterampilan tugas tertentu). Tekanan jenis-jenis life skill ini berbeda pada jenjang yang berbeda. Untuk SD dan SMP life skill yang dikembangkan lebih menekankan pada general skill sedangkan pada SMA tekanannya pada academic skills (Depdiknas, 2003, Pedoman khusus pengembangan silabus dan penilaian kurikulum 2004). Life skills atau kecakapan hidup ini harus dimunculkan dalam setiap kegiatan di sekolah baik dalam kegiata Adapun tujuan dari pengembangan kecakapan hidup siswa ini adalah sebagai berikut:
1.mengaktualisasi potensi anak sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang dihadapi
2.memberikan wawasan yang luas dalam mengembangkan karier
3.memberikan bekal dengan latihan dasar tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari
4.memberikan kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis luas
5.mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat
Secara umum manfaat pendidikan berorientasi pada kecakapan hidup bagi peserta didik adalah sebagai bekal dalam menghadapi dan memecahkan problema hidup dan kehidupan, baik sebagai pribadi yang mandiri, warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Jika hal itu dapat dicapai, maka faktor ketergantungan terhadap lapangan pekerjaan yang sudah ada dapat diturunkan, yang berarti produktivitas nasional akan meningkat secara bertahap.
Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi dua jenis utama, yaitu:
1.Kecakapan hidup yang bersifat generik (generic life skill/GLS); yang mencakup kecakapan personal (personal skill/PS) dan kecakapan sosial (social skill/SS). Kecakapan personal mencakup kecakapan akan kesadaran diri atau memahami diri (self awareness) dan kecakapan berpikir (thinking skill); sedangkan kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill).
2.Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS); yaitu kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu, yang mencakup kecakapan akademik (academic skill) atau kecakapan intelektual dan kecakapan vokasional (vocational skill). Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran, sehingga mencakup kecakapan mengidentifikasi variabel dan hubungan antara satu dengan lainnya (identifying variables and describing relationship among them) , kecakapan merumuskan hipotesis (constructing hypotheses) , dan kecakapan merancang dan melaksanakan penelitian ( designing and implementing a research) . Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik. Kecakapan vokasional mencakup kecakapan vokasional dasar (basic vocational )
Mengembangkan Soft Skills Siswa
Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skills), tetapi oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skills). Pendidikan soft skills bertumpu pada pembinaan mentalitas agar siswa dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Hasil penelitian mengungkapkan, kesuksesan seseorang hanya ditentukan sekitar 20 persen dengan hard skill dan sisanya 80 persen dengan soft skills.
Proses pendidikan merupakan perubahan pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) dan sikap (afektif) seseorang, maka pendidikan seharusnya menghasilkan output dengan kemampuan yang proporsional antara hard skills dan soft skills. Selain karena kurikulum yang memiliki muatan soft skills yang rendah dibanding muatan hard skills, ketidakseimbangan antara soft skills dengan hard skills juga dapat disebabkan oleh proses pembelajaran yang menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Banyak guru yang memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi. Persepsi ini menyebabkan guru terkungkung dalam proses pembelajaran yang konvensional (teacher centered), baik dalam penyampaian demikian juga pada proses penilaianya. Saat ini sudah saatnya guru lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan proses belajar mengajar yang berpusat pada siswa (student centered learning).
Setiap orang termasuk peserta didik sudah memiliki soft kills walaupun berbeda-beda. Soft skills ini dapat dikembangkan menjadi lebih baik atau bernilai (diterapkan dalam kehidupan sehari-hari) melalui proses pembelajaran. Pendidikan soft skills tidak seharusnya melalui satu mata pelajaran khusus, melainkan dintegrasikan melalui mata pelajaran yang sudah ada atau dengan menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Salah satunya adalah pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning).
Pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa. Selain itu, mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan komponen utama pembelajaran. Yaitu, konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian yang sebenarnya. Sebuah Kelas dikatakan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual apabila menerapakan ketujuh komponen tersebut dalam proses pembelajaran.
Dari ketujuh komponen tersebut, pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang berlandaskan pada dunia kehidupan nyata, berpikir tingkat tinggi, aktivitas siswa, aplikatif, berbasis masalah nyata, penilaian komprehensif, dan pembentukan manusia yang memiliki akal sehat. CTL dilaksanakan melalui beberapa pendekatan pengajaran, antara lain:
1.Belajar berbasis masalah
2.Pengajaran autentik
3.Pengajaran berbasis Inquiri
4.Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur
5.Belajar berbasis kerja
6.Belajar berbasis layanan
7.Belajar kooperatif
Pendekatan pengajaran dapat di implementasikan melalui strategi pembelajaran kontekstual yang meliputi:
1.Menekankan pentingnya pemecahan masalah/problem
2.Perlunya proses pembelajaran dilakukan dalam berbagi konteks seperti rumah, masyarakat dan tempat kerja
3.Mengontrol dan mengarahkan pembelajaran, agar siswa dapat belajar mandiri
4.Bermuara pada keragaman konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda
5.Mendorong siswa belajar dari sesama teman dan belajar bersama, 6. Menggunakan penilaian autentik
Melalui pendekatan dan strategi diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual dapat mengembangkan soft skills siswa. Soft skills yang akan muncul dalam diri siswa sebagi akibat dari implementasi pembelajaran kontekstual meliputi:
1.Berpikir kritis
2.Kemauan belajar
3.Motivasi
4.Berkomunikasi
5.Kreatif
6.Memecahkan masalah
7.Bekerja sama,
8.Mandiri
9.Berargumentasi logis
10.Memimpin
11.Mengembangkan diri
Proses pendidikan merupakan perubahan pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) dan sikap (afektif) seseorang, maka pendidikan seharusnya menghasilkan output dengan kemampuan yang proporsional antara hard skills dan soft skills. Selain karena kurikulum yang memiliki muatan soft skills yang rendah dibanding muatan hard skills, ketidakseimbangan antara soft skills dengan hard skills juga dapat disebabkan oleh proses pembelajaran yang menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan maupun nilai hasil ujian. Banyak guru yang memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi. Persepsi ini menyebabkan guru terkungkung dalam proses pembelajaran yang konvensional (teacher centered), baik dalam penyampaian demikian juga pada proses penilaianya. Saat ini sudah saatnya guru lebih kreatif dan inovatif dalam menciptakan proses belajar mengajar yang berpusat pada siswa (student centered learning).
Setiap orang termasuk peserta didik sudah memiliki soft kills walaupun berbeda-beda. Soft skills ini dapat dikembangkan menjadi lebih baik atau bernilai (diterapkan dalam kehidupan sehari-hari) melalui proses pembelajaran. Pendidikan soft skills tidak seharusnya melalui satu mata pelajaran khusus, melainkan dintegrasikan melalui mata pelajaran yang sudah ada atau dengan menggunakan strategi pembelajaran yang berpusat pada siswa. Salah satunya adalah pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning).
Pembelajaran kontekstual (CTL) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa. Selain itu, mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari dengan melibatkan komponen utama pembelajaran. Yaitu, konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi dan penilaian yang sebenarnya. Sebuah Kelas dikatakan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual apabila menerapakan ketujuh komponen tersebut dalam proses pembelajaran.
Dari ketujuh komponen tersebut, pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang berlandaskan pada dunia kehidupan nyata, berpikir tingkat tinggi, aktivitas siswa, aplikatif, berbasis masalah nyata, penilaian komprehensif, dan pembentukan manusia yang memiliki akal sehat. CTL dilaksanakan melalui beberapa pendekatan pengajaran, antara lain:
1.Belajar berbasis masalah
2.Pengajaran autentik
3.Pengajaran berbasis Inquiri
4.Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur
5.Belajar berbasis kerja
6.Belajar berbasis layanan
7.Belajar kooperatif
Pendekatan pengajaran dapat di implementasikan melalui strategi pembelajaran kontekstual yang meliputi:
1.Menekankan pentingnya pemecahan masalah/problem
2.Perlunya proses pembelajaran dilakukan dalam berbagi konteks seperti rumah, masyarakat dan tempat kerja
3.Mengontrol dan mengarahkan pembelajaran, agar siswa dapat belajar mandiri
4.Bermuara pada keragaman konteks kehidupan siswa yang berbeda-beda
5.Mendorong siswa belajar dari sesama teman dan belajar bersama, 6. Menggunakan penilaian autentik
Melalui pendekatan dan strategi diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual dapat mengembangkan soft skills siswa. Soft skills yang akan muncul dalam diri siswa sebagi akibat dari implementasi pembelajaran kontekstual meliputi:
1.Berpikir kritis
2.Kemauan belajar
3.Motivasi
4.Berkomunikasi
5.Kreatif
6.Memecahkan masalah
7.Bekerja sama,
8.Mandiri
9.Berargumentasi logis
10.Memimpin
11.Mengembangkan diri
Langganan:
Postingan (Atom)